Kota Padang adalah kota terbesar
di pantai barat Pulau Sumatera sekaligus ibu kota dari provinsi Sumatera Barat,
Indonesia. Kota ini memiliki wilayah seluas 694,96 km² dengan kondisi geografi
berbatasan dengan laut namun memiliki daerah perbukitan yang ketinggiannya
mencapai 1.853 mdpl. Berdasarkan Data Agregat Kependudukan per Kecamatan (DAK2)
tahun 2012, kota ini memiliki jumlah penduduk sebanyak 871.534 jiwa yang
didominasi oleh etnis Minangkabau dan mayoritas masyarakat di kota ini menganut
agama Islam.
Sejarah Kota Padang tidak
terlepas dari peranannya sebagai kawasan rantau Minangkabau, yang berawal dari
perkampungan nelayan di muara Batang Arau lalu berkembang menjadi bandar
pelabuhan yang ramai setelah masuknya Belanda di bawah bendera Vereenigde Oostindische
Compagnie (VOC). Hari jadi kota ini ditetapkan pada 7 Agustus 1669, yang
merupakan hari terjadinya pergolakan masyarakat Pauh dan Koto Tangah melawan
monopoli VOC. Selama penjajahan Belanda, kota ini menjadi pusat perdagangan
emas, teh, kopi, dan rempah-rempah. Memasuki abad ke-20, ekspor batu bara dan
semen mulai dilakukan melalui Pelabuhan Teluk Bayur.
Saat ini Kota Padang menjadi
pusat perekonomian dengan jumlah pendapatan per kapita tertinggi di Sumatera
Barat. Selain itu, kota ini juga menjadi pusat pendidikan dan kesehatan di
wilayah Sumatera bagian tengah, disebabkan keberadaan sejumlah perguruan tinggi
(termasuk Universitas Andalas, kampus tertua di luar Pulau Jawa) dan fasilitas
kesehatan yang cukup lengkap. Di kalangan masyarakat Indonesia, nama kota ini
banyak dikenal sebagai sebutan lain untuk etnis Minangkabau, dan juga digunakan
untuk menyebut masakan khas mereka yang umumnya dikenal sebagai masakan Padang.
SEJARAH
Tidak ada data yang pasti siapa
yang memberi nama kota ini Padang. Diperkirakan kota ini pada awalnya berupa
sebuah lapangan atau dataran yang sangat luas sehingga dinamakan Padang. Dalam
bahasa Minang, kata padang juga dapat bermaksud pedang. Menurut tambo setempat,
kawasan kota ini dahulunya merupakan bagian dari kawasan rantau yang didirikan
oleh para perantau Minangkabau dari Dataran Tinggi Minangkabau (darek). Tempat
permukiman pertama mereka adalah perkampungan di pinggiran selatan Batang Arau
di tempat yang sekarang bernama Seberang Padang. Seperti kawasan rantau
Minangkabau lainnya, pada awalnya kawasan sepanjang pesisir barat Sumatera
berada di bawah pengaruh Kerajaan Pagaruyung. Namun, pada awal abad ke-17
kawasan ini telah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh.[8][9]
Kehadiran bangsa asing di Kota
Padang diawali dengan kunjungan pelaut Inggris pada tahun 1649. Kota ini
kemudian mulai berkembang sejak kehadiran bangsa Belanda di bawah Vereenigde
Oostindische Compagnie (VOC) pada tahun 1663, yang diiringi dengan migrasi
penduduk Minangkabau dari kawasan luhak. Selain memiliki muara yang bagus, VOC
tertarik membangun pelabuhan dan permukiman baru di pesisir barat Sumatera
untuk memudahkan akses perdagangan dengan kawasan pedalaman Minangkabau.
Selanjutnya pada tahun 1668, VOC berhasil mengusir pengaruh Kesultanan Aceh dan
menanamkan pengaruhnya di sepanjang pantai barat Sumatera, sebagaimana
diketahui dari surat Regent Jacob Pits kepada Raja Pagaruyung yang berisi
permintaan dilakukannya hubungan dagang kembali dan mendistribusikan emas ke
kota ini. Dalam perkembangan selanjutnya, pada 7 Agustus 1669 terjadi
pergolakan masyarakat Pauh dan Koto Tangah melawan monopoli VOC. Meski dapat
diredam oleh VOC, peristiwa tersebut kemudian diabadikan sebagai tahun lahir
Kota Padang.
Beberapa bangsa Eropa silih
berganti mengambil alih kekuasaan di Kota Padang. Pada tahun 1781, akibat
rentetan Perang Inggris-Belanda Keempat, Inggris berhasil menguasai kota ini.
Namun, setelah ditandatanganinya Perjanjian Paris pada tahun 1784 kota ini
dikembalikan kepada VOC. Pada tahun 1793 kota ini sempat dijarah dan dikuasai
oleh seorang bajak laut dari Perancis yang bermarkas di Mauritius bernama
François Thomas Le Même, yang keberhasilannya diapresiasi oleh pemerintah
Perancis waktu itu dengan memberikannya penghargaan. Kemudian pada tahun 1795,
Kota Padang kembali diambil alih oleh Inggris. Namun, setelah peperangan era
Napoleon, pada tahun 1819 Belanda mengklaim kembali kawasan ini yang kemudian
dikukuhkan melalui Traktat London, yang ditandatangani pada 17 Maret 1824. Pada
tahun 1837, pemerintah Hindia-Belanda menjadikan Padang sebagai pusat
pemerintahan wilayah Pesisir Barat Sumatera (Sumatra's Westkust) yang
wilayahnya meliputi Sumatera Barat dan Tapanuli sekarang. Selanjutnya kota ini
menjadi daerah gemeente sejak 1 April 1906 setelah keluarnya ordonansi (STAL
1906 No.151) pada 1 Maret 1906.
Menjelang masuknya tentara
pendudukan Jepang pada 17 Maret 1942, Kota Padang telah ditinggalkan begitu
saja oleh Belanda karena kepanikan mereka. Pada saat bersamaan Soekarno sempat
tertahan di kota ini karena pihak Belanda waktu itu ingin membawanya turut
serta melarikan diri ke Australia. Kemudian panglima Angkatan Darat Jepang
untuk Sumatera menemuinya untuk merundingkan nasib Indonesia selanjutnya.
Setelah Jepang dapat mengendalikan situasi, kota ini kemudian dijadikan sebagai
kota administratif untuk urusan pembangunan dan pekerjaan umum.
Berita kemerdekaan Indonesia pada
17 Agustus 1945 baru sampai ke Kota Padang sekitar akhir bulan Agustus. Namun,
pada 10 Oktober 1945 tentara Sekutu telah masuk ke Kota Padang melalui
Pelabuhan Teluk Bayur, dan kemudian kota ini diduduki selama 15 bulan. Pada 9
Maret 1950, Kota Padang dikembalikan ke tangan Republik Indonesia setelah
sebelumnya menjadi negara bagian Republik Indonesia Serikat (RIS) melalui surat
keputusan Presiden RIS nomor 111. Kemudian, berdasarkan Undang-undang Nomor 225
tahun 1948, Gubernur Sumatera Tengah waktu itu melalui surat keputusan nomor
65/GP-50, pada 15 Agustus 1950 menetapkan Kota Padang sebagai daerah otonom.
Wilayah kota diperluas, sementara status kewedanaan Padang dihapus dan
urusannya pindah ke Wali kota Padang.
Pada 29 Mei 1958, Gubernur
Sumatera Barat melalui Surat Keputusan Nomor 1/g/PD/1958, secara de facto
menetapkan Padang menjadi ibu kota provinsi Sumatera Barat, dan secara de jure
pada tahun 1975, yang ditandai dengan keluarnya Undang-undang Nomor 5 tahun
1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah. Kemudian, setelah menampung
segala aspirasi dan kebutuhan masyarakat setempat, pemerintah pusat mengeluarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 1980, yang menetapkan perubahan batas-batas
wilayah Kota Padang sebagai pemerintah daerah.[24] Saat ini, Kota Padang sedang
diusulkan untuk berubah status menjadi kota metropolitan. Menurut Peraturan
Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 13 Tahun 2012, wilayah Metropolitan Padang
meliputi Kota Padang, Lubuk Alung (Kabupaten Padang Pariaman), Kota Pariaman,
Arosuka (Kabupaten Solok), Kota Solok, dan Painan (Kabupaten Pesisir Selatan).
GEOGRAFI
Kota Padang terletak di pantai
barat pulau Sumatera, dengan luas keseluruhan 694,96 km² atau setara dengan
1,65% dari luas provinsi Sumatera Barat. Lebih dari 60% luas Kota Padang (±
434,63 km²) merupakan daerah perbukitan yang ditutupi hutan lindung, sementara
selebihnya merupakan daerah efektif perkotaan. Kota Padang memiliki garis
pantai sepanjang 84 km dan pulau kecil sebanyak 19 buah (di antaranya yaitu
Pulau Sikuai dengan luas 4,4 ha di Kecamatan Bungus Teluk Kabung, Pulau Toran
seluas 25 ha dan Pulau Pisang Gadang di Kecamatan Padang Selatan). Daerah
perbukitan membentang di bagian timur dan selatan kota. Bukit-bukit yang
terkenal di Kota Padang di antaranya adalah Bukit Lampu, Gunung Padang, Bukit
Gado-Gado, dan Bukit Pegambiran.
Ketinggian di wilayah daratan
Kota Padang sangat bervariasi, yaitu antara 0 m sampai 1.853 m di atas
permukaan laut dengan daerah tertinggi adalah Kecamatan Lubuk Kilangan. Suhu
udaranya cukup tinggi, yaitu antara 23 °C–32 °C pada siang hari dan 22 °C–28 °C
pada malam hari, dengan kelembabannya berkisar antara 78%–81%. Kota Padang
memiliki banyak sungai, yaitu 5 sungai besar dan 16 sungai kecil, dengan sungai
terpanjang yaitu Batang Kandis sepanjang 20 km. Tingkat curah hujan Kota Padang
mencapai rata-rata 405,58 mm per bulan dengan rata-rata hari hujan 17 hari per
bulan. Tingginya curah hujan membuat kota ini cukup rawan terhadap banjir. Pada
tahun 1980 2/3 kawasan kota ini pernah terendam banjir karena saluran drainase
kota yang bermuara terutama ke Batang Arau tidak mampu lagi menampung limpahan
air tersebut.
sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Padang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar